Koas Ilmu Penyakit Dalam FK UGM
Halo semua pembaca! lama tidak berjumpa di ruang maya ini. Semoga teman-teman, bapak, ibu, semuanya dalam keadaan sehat. Kali ini aku ingin bercerita tentang stase besar terakhirku. Kisah nano-nano yang tak terlupakan, tentunya tiap bagian hidup kita memiliki keunikan dan spesialnya masing-masing. Ini kisahku
Sepuluh minggu tulang punggung dokter umum. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap bagian lain, IPD memang menyumbang peran besar. Sewajarnya punggawa ilmu penyakit dalam (IPD) menginginkan koasnya pintar-pintar. Berbagai program telah disiapkan oleh dosen-dosen kita yang luar biasa. Program pertama adalah bimbingan koas.
Aku rasa tidak ada cerita khusus di bimbingan koas. Tips belajar sebelum stase? Maaf ya menurutku pribadi tidak perlu. Saranku perdalamlah ilmu yang disukai; ilmu jual beli yang baik? ilmu agama? ilmu-ilmu yang bermanfaat yang mau diamalkan. Manfaatnya dobel; manfaat belajar + manfaat mengamalkan. Mengapa tidak perlu belajar dulu? 1. mayoritas kita malas kalau tidak minat 2. karena biasanya tidak tepat sasaran, belajar A, padahal A tidak terpakai. Ada sih yang pasti terpakai, pemeriksaan fisik! (dan anamnesis), kedua hal tersebut baik untuk dibaca sebelum IPD.
bukan promosi |
Hal khusus yang ingin kuceritakan adalah ICCU, stase RSA, dan minggu ujian. Pertama ICCU, kami dibimbing oleh dr. Putrika yang sekaligus menjabat sebagai kodik koas (yang ngurusin koas). Hebatnya sistem beliau adalah sistem jaga ICCU. Kami semua terkesima oleh sistem itu. Masih terngiang-ngiat kalimat beliau
"kalian jaga di ICCU bukan untuk pelayanan. Boleh kalian bantu pelayanan, malah bagus, tapi kewajiban utama kalian adalah belajar"
MasyaAllah dan itulah yang benar-benar terjadi di lapangan. Ketika jaga ICCU kami ya belajar dengan segala fasilitas yang ada di sana. Ada yang aktif berinteraksi dengan residen ada juga yang mandiri. Saya tidak kedapatan yang interaksi aktif sehingga tidak bisa menceritakannya secara detail. Namun prinsip jaga ICCU ya seperti apa yang dr. Putrika katakan.
Residen yang kami kenang ada dr. Khairul Mawaris dan dr. Sudiyoko. Kami semua sangat berterima kasih pada mereka berdua karena jasanya di stase jantung/kardio (kalimat hiperbola). Panjang jika aku bercerita tentang opiniku terhadap sistem koas inisiatif vs dituntun, idealisme yang seharusnya vs kesiapan lapangan. Namun dr. Khairul Mawaris tahu banget karakter koas dan mau menuntun kami.
"dek sini, kalian tau gak di sana ada Y, Z, A, B. Udah kalian periksa belum? coba periksa sendiri terus ceritain ke saya"
"dek kalian belum ngerti soal apa, sini saya ajarin" catatan: di tengah kesibukannya sebagai residen bangsal. Sepaham saya residen bangsal memiliki beban kerja yang cukup tinggi, baik fisik atau pun mental.
hiperbola |
Satu kalimat balasan kami untuk dr. Khairul Mawaris dan dr. Sudiyoko: Jazakallah khairan (Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang banyak). Sesungguhnya apa yang di sisi Allah lebih baik dari apa pun di dunia ini. Catatan; ucapan ini juga untuk semua orang yang telah membantu kami selama penyakit dalam
Stase Rumah Sakit UGM, "surga"nya wahana koas. Sebenarnya kita tidak baik ya mengkhususkan suatu hal secara berlebihan. Teman-teman menyebut RSA (panggilan sayang kami untuk RS UGM) sebagai "surga"nya koas UGM mungkin karena satu di Jogja, dua dosennya murah ilmu dan keterampilan, serta tiga stafnya ramah sama koas. Terlepas dari itu semua wahana saya yakin memiliki kelebihannya masing-masing dan ada ilmu di sana. Baik ilmu kedokteran atau pun ilmu solutif menghadapi sistem yang kurang baik.
Di RSA kami bertemu dengan dr. Putu, dr. Agit, dr. Eko, dr. Diana, khusus pemegang bima 3 bertemu dr. Freddie. Semua dokter tersebut baik-baik dan ngajar. Uniknya dari beliau ber-5, tidak ada satu pun yang style ngajarnya sama. Beliau ber-5 memiliki warna yang berbeda. Dokter Putu seperti ibu bagi kami, dokter Agit itu guru banget, dokter Eko interpersonalnya sangat waw (sulit deskripsi beliau, harus temu langsung), dokter Diana bertukar pandangan tentang hidup, dokter Freddie membawa kami belajar ke luar negri (kiasan tentunya).
impiannya bukan kiasan |
Ternyata feedback meskipun berisiko tetap dibutuhkan di dalam suatu sistem. Yang mengfeedback pun di dalam feedbacknya sudah termasuk mem-feedback diri sendiri. Maksudnya sebelum menilai hal lain, nilailah diri / introspeksi diri sendiri dulu. Kalau niatnya untuk kebaikan, mengapa harus takut? Banyak yang malu padahal baik, tetapi berani padahal salah.
Budaya feedback dua sisi ingin aku tonjolkan di sini. Suatu budaya yang mulai ditanggalkan karena memang repot dan rasanya tidak nyaman mengakui kesalahan sendiri. Aku pun pernah di feedback dan memang tidak nyaman mengetahui kesalahan sendiri. Tetapi harus diakui dan diperbaiki asal niatnya untuk kebaikan untuk Allah.
Pertemuan dua belah pihak merupakan hal yang sangat indah di mana saling mengerti timbul di sana. Lalu masing-masing mengutarakan pendapatnya lalu bertemulah di titik tengah. Perbaikan demi perbaikan muncul dari sana lalu kita berlomba menuju kebaikan. Sudah saatnya musuh kita bukanlah saudara kita sendiri, sudah saatnya kita bersaing dengan luar negeri.
sumber gambar:
- amazon.com
- thumbs.dreamstime.com
- dailymail.co.uk
copyright to amgah.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar