Part 1 Prelude
Malam itu tampaknya berjalan seperti malam-malam biasanya. Putar-putar rumah sakit dari belakang hingga depan, mencatat, menulis, dan mencoba mengambil hikmah dari setiap langkah. Rutinitas jaga malam 24 jam. Sampai akhirnya di persimpangan antara kamar bersalin-bangsal utama-dan ICU.
"mas-mas ini pasiennya"
"waduh mba mau dibawa ke mana?"
"ICU"
*hening* sambil ikut bantu membawa brankar ke ICU
Kurang lebih pukul 21.00 sebuah perjalanan "rutin" dimulai. Padahal sekitar pukul 19.00 pasien ini dalam keadaan sadar dan cukup baik, hanya dalam waktu 2 jam langsung mengalami penurunan kesadaran lalu dibawa ke ICU.
Sesampainya di ICU langsung dilakukan tindakan medis. Ketika saya mencoba menstetoskop dada pasien -- bahasa awamnya auskultasi paru -- saya mendapatkan ada yang tidak beres pada paru-paru pasien tersebut. Benar saja ketika dilakukan penyedotan paru, didapatkan banyak sekali cairan yang bercampur darah dan kita sebut penyakitnya sebagai udem pulmo.
Jadilah saya mengawasi pasien ini selama kurang lebih 5 jam, 21.00-02.00. Karena saya sedang stase obsgyn, dapat dipastikan bahwa pasien ini sedang hamil. Tugas koas saat itu adalah memonitoring keadaan bayi di dalam rahim melalui doppler/auskultasi usg denyut jantung bayi. Jika ada suatu peristiwa yang mampu mengganggu kesejahteraan janin, langsung kita doppler, atau tiap 15 menit.
Pada 15 menit pertama, doppler sudah menunjukkan bahwa keadaan janin tidak baik. Sang ibu mengalami penurunan kesadaran, desaturasi, dan takikardi. Sang janin pun ikut merasakan bahwa ada yang tidak beres dari ibunya. Denyut jantung bayi saat itu naik drastis dari yang seharusnya. Sebuah tanda ketidaksejahteraan janin di dalam rahim.
Selama kurang lebih 3 jam (21.00-00.00) pasien coba kita stabilkan sambil menunggu persiapan ambulans untuk dirujuk ke RSUP DR.Sardjito. Berbagai usaha kita lakukan namun keadaan ibu belum juga membaik. Sekitar pukul 23.00 keadaan ibu memburuk, lalu kami panggil suaminya dan menjelaskan keadaan
"mas ini keadaan istri. Tolong diikhlaskan"
"astaghfirullah"
Tak ada kata yang mampu mendeskripsikan keadaan saat itu. Aura bangsal ICU, raut wajah sedih suami, keadaan kritis sang ibu, pemandangan yang kami tenaga kesehatan sebenarnya tak mau lihat tapi tak bisa tak melihat. Sang suami langsung menangis dan mencoba menuntun serta mendoakan sang istri.
Apa jadinya jika istrimu berusia 24 tahun, sedang hamil anak ke-2 lalu tiba-tiba jatuh dalam kondisi kritis. Apa kabar kakak (anak pertama)? apa yang harus saya katakan padanya? haruskah saya berbohong bahwa ibu pergi dan pulangnya akan lama? apa jadinya hidup saya tanpanya?
- end -
***
Part 2. Anger
00.00 ambulans siap dan kita pun memulai transportasi. Sekitar 00.10 saya bersama tenaga kesehatan lainnya berangkat ke Yogyakarta dari Purworejo. Part ini saya dedikasikan untuk pengendara kendaraan apa pun di jalan raya. Tiga kali saya naik ambulan gawat darurat dan tiga-tiganya kalian kurang ajar. Itu pasien di dalam ambulan keadaannya sedang gawat tapi masih ada saja orang yang tidak mau mengalah. Tapi kalau keluarga kalian yang ada di dalam, kalian selalu menuntut orang lain minggir, kalau orang lain di dalam, maukah kalian minggir?
Masalahnya pengendara2 zaman sekarang keterlaluan banget. Udah tau ambulan, ada isinya, tapi tetep aja dilawan. Ada yang ngalangin jadi kita gakbisa cepat. Ada yang menang/nyalip dan membuat kita ngerem/melambat. Ada yang kalah eh malah ngeliatin kita dengan tampang sinis. Woy, sadar diri woy situ sehat walafiat di sini sedang sekarat. Mungkin mereka belum pernah merasakan nikmat sehatnya dicabut hingga ke denyut nadi terakhir.
***
Part 3. Refrain
"yang terus berulang, suatu saat henti" - Yang patah tumbuh, yang hilang berganti - Banda Neira
Lirik lagu ini saya coba cocokkan dengan keadaan pekerjaan yang saya jalani. Melihat pasien sekarat, keluarga yang ditinggalkan sedih, haruskah terus berulang dan akankah suatu saat henti. Namun jawaban yang saya temukan tak kunjung sesuai yang saya inginkan. Mungkin inilah refrain, suatu sajak yang berulangkali dinyanyikan.
Sajak itu adalah konsekuensi yang telah kami pilih dengan mau atau pun tidak mau sebagai tenaga kesehatan. Bersamanya didapatkan bonus jam kerja lembur, perlakuan tak menyenangkan, dan kadang dipandang sebelah mata. Tapi tak jarang ada orang yang menghargai, berterima kasih, dan memandang kami secara keseluruhan. Sebuah refrain dari sajak yang selalu kami senandungkan, Namun terkadang muncul pertanyaan "Kenapa dulu milih ini"
Oke sekarang kita bahas apa yang terus berulang di purworejo. Purworejo adalah rumah sakit tipe B rujukan terakhir di suatu daerah dimana rujukan kami adalah RSUP DR.Sardjito sebuah rumah sakit rujukan nasional. Dapat dibayangkan kasus-kasus yang ada di sini adalah kasus yang tidak mampu ditangani di faskes tingkat 1 atau pun rumah sakit kecil.
Koas jaga malam obsgyn purworejo memiliki kebiasaan; muter rumah sakit (sensus pasien) sore, tengah malam, dan subuh dini hari. Di mana intinya kami memfollow-up keadaan pasien obsgyn di 1 RS itu, melaporkannya pada residen dan konsulen, serta melaporkan rencana tindakan untuk esok harinya. Kami sebut itu sensus.
Sensus dapat memakan waktu 1-2 jam tergantung jumlah pasien dan kecepatan kerja kita. Sensus berada di antara kesibukan jaga kamar bersalin. Jangsan salah pasien bersalin di sini jumlahnya 3x lipat dari RSUD Sleman. Ketika 1 pasien selesai kita tolong bersalin, datang lagi pasien lain yang perlu ditolong untuk bersalin. dapat dipastikan jaga malam kita akan ramai.
Dilalah ada pasien IGD atau ICU, berarti ekstra kerja keras dan bagi tugas antara koas 1 dan koas 2 (biasanya 1 shift jaga malam ada 2 koas). Di sini kita UGM berkolaborasi dengan koas UMY. Pas banget dapat temen yang enak-enak. Ada atika si rajin, ike si pembawa, kiki si kocak, dan luqni si selebgram serta temen2 lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kalau keadaan tidak mengharuskan kita berpisah, biasanya saya selalu ngobrol dengan mereka karena biasanya kita memiliki diskusi hangat yang selalu menarik untuk dimatangkan.
Jam 06.00 pagi biasanya shift jaga malam selesai. Pergi mandi dan jam 07.00 ada visit residen. 09.00 ada visit konsulen. Lalu selain kamar bersalin, pos jaga kita adalah - Poliklinik/Rawat jalan, dan - IBS/Ruang Operasi. Di PWJ kita diperbolehkan menulis rekam medis, plusnya kita belajar lebih, minusnya lebih capek dan ribet.*
*Rutinitas sewaktu-waktu dapat berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Selalu tanyakan pada kakak minggu
Kos-kosan di sini terbilang variatif, ada yang murah ada yang mahal. Namun 1 hal yang menurut kami pasti, di sini panas, atau saya lebih suka bilang kering. Alhamdulillahnya rumah sakit mulai menanam banyak pohon. Tapi beda cerita dengan daerah sekitar kosan yang di jalan raya, sabar aja. Biasanya saya tahan panas dan gak percaya kalau orang lain bilang panas, tapi ini saya mengakui di sini cukup keringetan.
Akses tempat makan terbilang mudah tetapi tidak murah jika dibandingkan dengan banyumas. Lalu di sini ada juga kuliner khas seperti ayam asap warung mbak tin, ayam langgeng alun-alun kutoarjo, dan nasi goreng sebatas kemampuan tengah malam. Cukup menarik untuk dieksplor plus setiap alun-alun memiliki ceritanya masing-masing.
Selama 1 minggu ini secara keseluruhan PWJ adalah stase di mana jaga malamnya luar biasa. Sekali capek, capek banget. Namun setelahnya cukup manusiawi dan dapat digunakan untuk hal berguna lainnya. Di sini menulis rekam medis dan kita belajar banyak (walaupun kalau sudah sering lama-lama bosan juga). Konsulen obsgynnya baik-baik, bidannya juga baik.
catatan: masjid di PWJ terbilang kurang mumpuni, mungkin ada yang mau bangun masjid di sekitar kosan sini? Yang jelas untuk bisa solat jamaah di Obsgyn dan di PWJ butuh tenaga ekstra dan harus nyempetin. Enak kalau dapat temen yang rajin ke masjid terus ngajakin kita yang udah mager di kos karena jarak tempuh antara masjid dan kos. Plus kadang masjid PWJ gaada azan, monggo yang pinter azan
---
copyright to amgah.blogspot.com
sumber gambar:
oseshavethoughts.files.wordpress.com
www.lindco.se
fokuspurworejo.com
s26.postimg.org/xtp5cjy6h/rsud_purworejo1
Malam itu tampaknya berjalan seperti malam-malam biasanya. Putar-putar rumah sakit dari belakang hingga depan, mencatat, menulis, dan mencoba mengambil hikmah dari setiap langkah. Rutinitas jaga malam 24 jam. Sampai akhirnya di persimpangan antara kamar bersalin-bangsal utama-dan ICU.
"mas-mas ini pasiennya"
"waduh mba mau dibawa ke mana?"
"ICU"
*hening* sambil ikut bantu membawa brankar ke ICU
Kurang lebih pukul 21.00 sebuah perjalanan "rutin" dimulai. Padahal sekitar pukul 19.00 pasien ini dalam keadaan sadar dan cukup baik, hanya dalam waktu 2 jam langsung mengalami penurunan kesadaran lalu dibawa ke ICU.
Sesampainya di ICU langsung dilakukan tindakan medis. Ketika saya mencoba menstetoskop dada pasien -- bahasa awamnya auskultasi paru -- saya mendapatkan ada yang tidak beres pada paru-paru pasien tersebut. Benar saja ketika dilakukan penyedotan paru, didapatkan banyak sekali cairan yang bercampur darah dan kita sebut penyakitnya sebagai udem pulmo.
Jadilah saya mengawasi pasien ini selama kurang lebih 5 jam, 21.00-02.00. Karena saya sedang stase obsgyn, dapat dipastikan bahwa pasien ini sedang hamil. Tugas koas saat itu adalah memonitoring keadaan bayi di dalam rahim melalui doppler/auskultasi usg denyut jantung bayi. Jika ada suatu peristiwa yang mampu mengganggu kesejahteraan janin, langsung kita doppler, atau tiap 15 menit.
Pada 15 menit pertama, doppler sudah menunjukkan bahwa keadaan janin tidak baik. Sang ibu mengalami penurunan kesadaran, desaturasi, dan takikardi. Sang janin pun ikut merasakan bahwa ada yang tidak beres dari ibunya. Denyut jantung bayi saat itu naik drastis dari yang seharusnya. Sebuah tanda ketidaksejahteraan janin di dalam rahim.
Selama kurang lebih 3 jam (21.00-00.00) pasien coba kita stabilkan sambil menunggu persiapan ambulans untuk dirujuk ke RSUP DR.Sardjito. Berbagai usaha kita lakukan namun keadaan ibu belum juga membaik. Sekitar pukul 23.00 keadaan ibu memburuk, lalu kami panggil suaminya dan menjelaskan keadaan
"mas ini keadaan istri. Tolong diikhlaskan"
"astaghfirullah"
Tak ada kata yang mampu mendeskripsikan keadaan saat itu. Aura bangsal ICU, raut wajah sedih suami, keadaan kritis sang ibu, pemandangan yang kami tenaga kesehatan sebenarnya tak mau lihat tapi tak bisa tak melihat. Sang suami langsung menangis dan mencoba menuntun serta mendoakan sang istri.
Apa jadinya jika istrimu berusia 24 tahun, sedang hamil anak ke-2 lalu tiba-tiba jatuh dalam kondisi kritis. Apa kabar kakak (anak pertama)? apa yang harus saya katakan padanya? haruskah saya berbohong bahwa ibu pergi dan pulangnya akan lama? apa jadinya hidup saya tanpanya?
- end -
***
Part 2. Anger
00.00 ambulans siap dan kita pun memulai transportasi. Sekitar 00.10 saya bersama tenaga kesehatan lainnya berangkat ke Yogyakarta dari Purworejo. Part ini saya dedikasikan untuk pengendara kendaraan apa pun di jalan raya. Tiga kali saya naik ambulan gawat darurat dan tiga-tiganya kalian kurang ajar. Itu pasien di dalam ambulan keadaannya sedang gawat tapi masih ada saja orang yang tidak mau mengalah. Tapi kalau keluarga kalian yang ada di dalam, kalian selalu menuntut orang lain minggir, kalau orang lain di dalam, maukah kalian minggir?
Masalahnya pengendara2 zaman sekarang keterlaluan banget. Udah tau ambulan, ada isinya, tapi tetep aja dilawan. Ada yang ngalangin jadi kita gakbisa cepat. Ada yang menang/nyalip dan membuat kita ngerem/melambat. Ada yang kalah eh malah ngeliatin kita dengan tampang sinis. Woy, sadar diri woy situ sehat walafiat di sini sedang sekarat. Mungkin mereka belum pernah merasakan nikmat sehatnya dicabut hingga ke denyut nadi terakhir.
***
Part 3. Refrain
"yang terus berulang, suatu saat henti" - Yang patah tumbuh, yang hilang berganti - Banda Neira
Lirik lagu ini saya coba cocokkan dengan keadaan pekerjaan yang saya jalani. Melihat pasien sekarat, keluarga yang ditinggalkan sedih, haruskah terus berulang dan akankah suatu saat henti. Namun jawaban yang saya temukan tak kunjung sesuai yang saya inginkan. Mungkin inilah refrain, suatu sajak yang berulangkali dinyanyikan.
Sajak itu adalah konsekuensi yang telah kami pilih dengan mau atau pun tidak mau sebagai tenaga kesehatan. Bersamanya didapatkan bonus jam kerja lembur, perlakuan tak menyenangkan, dan kadang dipandang sebelah mata. Tapi tak jarang ada orang yang menghargai, berterima kasih, dan memandang kami secara keseluruhan. Sebuah refrain dari sajak yang selalu kami senandungkan, Namun terkadang muncul pertanyaan "Kenapa dulu milih ini"
Oke sekarang kita bahas apa yang terus berulang di purworejo. Purworejo adalah rumah sakit tipe B rujukan terakhir di suatu daerah dimana rujukan kami adalah RSUP DR.Sardjito sebuah rumah sakit rujukan nasional. Dapat dibayangkan kasus-kasus yang ada di sini adalah kasus yang tidak mampu ditangani di faskes tingkat 1 atau pun rumah sakit kecil.
Koas jaga malam obsgyn purworejo memiliki kebiasaan; muter rumah sakit (sensus pasien) sore, tengah malam, dan subuh dini hari. Di mana intinya kami memfollow-up keadaan pasien obsgyn di 1 RS itu, melaporkannya pada residen dan konsulen, serta melaporkan rencana tindakan untuk esok harinya. Kami sebut itu sensus.
Sensus dapat memakan waktu 1-2 jam tergantung jumlah pasien dan kecepatan kerja kita. Sensus berada di antara kesibukan jaga kamar bersalin. Jangsan salah pasien bersalin di sini jumlahnya 3x lipat dari RSUD Sleman. Ketika 1 pasien selesai kita tolong bersalin, datang lagi pasien lain yang perlu ditolong untuk bersalin. dapat dipastikan jaga malam kita akan ramai.
Dilalah ada pasien IGD atau ICU, berarti ekstra kerja keras dan bagi tugas antara koas 1 dan koas 2 (biasanya 1 shift jaga malam ada 2 koas). Di sini kita UGM berkolaborasi dengan koas UMY. Pas banget dapat temen yang enak-enak. Ada atika si rajin, ike si pembawa, kiki si kocak, dan luqni si selebgram serta temen2 lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kalau keadaan tidak mengharuskan kita berpisah, biasanya saya selalu ngobrol dengan mereka karena biasanya kita memiliki diskusi hangat yang selalu menarik untuk dimatangkan.
Jam 06.00 pagi biasanya shift jaga malam selesai. Pergi mandi dan jam 07.00 ada visit residen. 09.00 ada visit konsulen. Lalu selain kamar bersalin, pos jaga kita adalah - Poliklinik/Rawat jalan, dan - IBS/Ruang Operasi. Di PWJ kita diperbolehkan menulis rekam medis, plusnya kita belajar lebih, minusnya lebih capek dan ribet.*
*Rutinitas sewaktu-waktu dapat berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Selalu tanyakan pada kakak minggu
Kos-kosan di sini terbilang variatif, ada yang murah ada yang mahal. Namun 1 hal yang menurut kami pasti, di sini panas, atau saya lebih suka bilang kering. Alhamdulillahnya rumah sakit mulai menanam banyak pohon. Tapi beda cerita dengan daerah sekitar kosan yang di jalan raya, sabar aja. Biasanya saya tahan panas dan gak percaya kalau orang lain bilang panas, tapi ini saya mengakui di sini cukup keringetan.
Akses tempat makan terbilang mudah tetapi tidak murah jika dibandingkan dengan banyumas. Lalu di sini ada juga kuliner khas seperti ayam asap warung mbak tin, ayam langgeng alun-alun kutoarjo, dan nasi goreng sebatas kemampuan tengah malam. Cukup menarik untuk dieksplor plus setiap alun-alun memiliki ceritanya masing-masing.
Selama 1 minggu ini secara keseluruhan PWJ adalah stase di mana jaga malamnya luar biasa. Sekali capek, capek banget. Namun setelahnya cukup manusiawi dan dapat digunakan untuk hal berguna lainnya. Di sini menulis rekam medis dan kita belajar banyak (walaupun kalau sudah sering lama-lama bosan juga). Konsulen obsgynnya baik-baik, bidannya juga baik.
catatan: masjid di PWJ terbilang kurang mumpuni, mungkin ada yang mau bangun masjid di sekitar kosan sini? Yang jelas untuk bisa solat jamaah di Obsgyn dan di PWJ butuh tenaga ekstra dan harus nyempetin. Enak kalau dapat temen yang rajin ke masjid terus ngajakin kita yang udah mager di kos karena jarak tempuh antara masjid dan kos. Plus kadang masjid PWJ gaada azan, monggo yang pinter azan
---
copyright to amgah.blogspot.com
sumber gambar:
oseshavethoughts.files.wordpress.com
www.lindco.se
fokuspurworejo.com
s26.postimg.org/xtp5cjy6h/rsud_purworejo1
Komentar
Posting Komentar