Sekuel terakhir dari 4 Jam Mencari Ember: Sebuah Perjalanan Tak terduga
part 1: Langkah Pertama
part 3: Hitam
part 4:
Lilin-Lilin Kecil
Perjalanan ke pasar progo
berjalan lebih mudah dan cepat. Ternyata pasar progo sangat mudah ditemukan,
terlebih aku sudah pernah menjamahi daerah malioboro sebelumnya. Pasar progo
atau lebih tepatnya tempat jual barang bekas, terletak di tepi jalan progo. Aku
segera mencari parkir terdekat agar aku bisa menapakkan kaki dan mencari
ke-tujuh ember di ranah progo ini.
Setelah mendapatkan parkir dengan
mudah, aku dan rekan kerjaku langsung menemukan satu tempat yang terlihat
menjanjikan. Kami melihat tumpukan ember-ember cat bekas bersama tumpukan botol
bekas. Di sana telah duduk satu orang yang nampaknya pemilik toko tersebut. Di
sekitarnya ada sekitar 3 orang karyawan yang sedang bongkar muat barang bekas.
Aku mendekatinya dan bertanya
berapa harga satu ember cat bekas. Sang pemilik mematok harga 15rb rupiah per
ember cat. Aku menawar, pemilik setuju. 1 ember cat dibanderol dengan harga
10ribu. Entah aku bodoh atau pintar dengan menerima perjanjian tersebut.
Bagiku, mendapatkan ember saja sudah syukur, aku rasa 10ribu harga yang bagus.
Pada akhirnya kami membeli 2
ember cat bekas. Total ember yang kami dapat: 4. Kami butuh 3 ember lagi untuk
membuatnya menjadi 7. Kami putuskan untuk mencari 3 ember sisanya di tempat
lain, mungkin saja harganya akan lebih murah, mungkin saja.
Pencarian selanjutnya tak
berjalan begitu lancar. Kami menyinggahi beberapa toko dan semuanya bilang
“SOLD OUT”. Akhirnya kami frustasi di pedagang terakhir yang letaknya sudah
sangat jauh dari tempat parkir kami. Pedagang tersebut “menangkap” kucuran
keringat kami dan bertanya mengapa kami mencari ember cat.
Perlu diketahui bahwa aku mencari
ember dengan setelan kemeja dan celana bahan beserta jam tangan yang tidak enak
dilihat di pasar. Temanku mengenakan kaus biasa tapi dengan celana jeans yang
lumayan mewah dan jam tangan yang imut. Oiya hampir terlewat, setiap aku
berbicara atau tersenyum, gigiku menampakkan hal yang tidak biasa di sini, behel
(kawat gigi). Nampaknya pedagang tersebut heran melihat orang dengan kostum
seperti itu mencari ember cat bekas.
Setelah menjelaskan edufunction
dan yayasan yatim piatu, nampaknya pedagang tersebut memberi tahu salah satu
rahasianya. Wew, baik juga. Beliau
memberiku suatu alamat penting, alamat penadah ember-ember cat bekas. Beliau
bilang padaku, cari di situ, biasanya dia dapat di situ.
Secarik kertas petunjuk yang aku
pegang merupakan harapan terbesar untuk hari itu. Wah, penadah, harusnya harganya lebih murah dibanding pengecer. Jarum
jam menunjukkan pukul 12.45 dan perut kami menunjukkan suaranya merdunya. Kami
putuskan untuk membeli makanan dan beristirahat sebentar.
Aku dan rekanku memilih sebuah
mall kecil untuk makan. Sebuah restoran fast food yang kami incar ternyata tak
mampu menampung lebih banyak orang lagi. Hebatnya, restoran tersebut adalah
satu-satunya di mall kecil itu. Namun ternyata, rekanku menemukan sebuah kantin
di mall tersebut. Kami pergi ke sana dan terkejut dengan harga-harga yang
ditawarkan. Bener bener harga “Jakarta”. Rekanku memutuskan untuk hanya membeli
somay dan teh manis, aku membeli bakso dan air putih.
Makan selesai, pemburuan dimulai.
Kami segera melangkahkan kaki menuju tempat penadah ember cat bekas. Tempat
tersebut terletak di lantai paling atas. Perjalanan menuju lantai tersebut
ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Tangga yang kami lalui telah
telah dikuasai oleh pedagang. Tak jarang kami harus mencari tangga lain untuk
menuju lantai paling atas. Syukurnya masih ada tangga lain yang tidak
diinvasi pedagang. Setidaknya mereka masih jujur dan ini bukan black market. Semoga saja
mereka membelinya dari petani, bukan mencurinya. Benakku tiba-tiba teringat
pasar klit*kan
Tepat jam 1 lewat lima aku sampai
di lantai paling atas. Ketika aku melihat jam aku tersadar bahwa penampilanku
berbahaya. Jam tangan, kemeja, celana bahan, semua dapat menyeretku ke harga
mahal. Saat itu pula seorang bapak-bapak menyapaku dan bertanya
“Sedang nyari apa pak?” Wajahnya
yang lugu membuatku percaya bahwa ia orang baik yang mau membantuku
“Sedang nyari ember cat bekas
pak”
“Oh, di pojok sana pak. Itu
tempatnya ember cat bekas. Toko bu *peep*” Dia mengangkat jari telunjuknya ke
sebuah papan yang menggantung
“Oh itu ya. Toko bu *peep*”
Aku bahagia, akhirnya perjuangan mencari ember bisa selesai di sini. Di
toko tersebut aku bertemu seorang penadah. Sesuai yang tertulis di papan, dia
seorang ibu-ibu
“Bu, ini ember cat 1nya
berapaan?” Tanyaku padanya sambil menunjuk ember cat yang aku cari-cari.
“20ribu” Jawabnya singkat tanpa
senyum, tanpa keramahan.
Mulutku sejenak terdiam,
membiarkan hatiku yang berbicara. GILA!
Aku dapet 10ribu di pengecer. Sekarang dia jual 20ribu?! Penadah macam apa ini.
“Bu kalo 10 ribu aja gimana?” Aku memberikan harga yang sama dengan harga
pengencer
“Enggak. 20 ribu gakbisa ditawar”
Nadanya masih sama, datar, tanpa senyum, tanpa keramahan. Kemudian ia pergi
melayani pelanggan lain yang datang tidak lebih cepat dibandingku.
“Bu, 15
ribu aja gimana bu?” Suaraku mengejar langkah kakinya yang takmau berhenti
“Enggak
mas. 20 ribu”
Tiba-tiba, bapak yang aku kira
masih baik datang menghampiriku dan bertanya “Ada apa pak?”
“Enggak pak, harganya kemahalan”
Bapak tersebut menjawabku dengan
bahasa jawa yang takdapat kumengerti. Aku tahu betul bahwa beliau sedang
mengujiku. Apakah aku orang jawa atau bukan.
Aku tak tahu, aku jawab saja asal
“20 ribu satunya, itu mahal pak”
Bapak tersebut kemudian
berdiskusi dengan si ibu penadah yang memang bersikap sebagai penadah. Bapak
tersebut kembali dan bilang padaku suatu kebohongan yang telah aku sadari dari
awal
“Maaf pak, 20 ribu itu udah murah
kok pak”
Mulutku membisu, mataku berpaling
meninggalkan wajah “lugu” mereka, kakiku
bergerak menjauh, tak ada gunanya aku menjawab. Emangnya aku bisa
ditipu. Aku dapet 10 ribu dari pengecer dan sekarang dia mau jual 20ribu?!
Gila! Mentang-mentang pake kostum begini dan bukan orang jawa.
Aku meninggalkan rekanku di
belakang, rekanku mengejarku. Aku kehilangan diri saat itu, rekanku mengetahui
itu.
“Yaudah gah, kita balik ke tempat
pertama aja yang 10ribu itu. Gapapalah daripada gak dapet sama sekali.”
Suara halusnya menenangkanku, aku setuju dan kembali ke tempat awal. Aku mendapatkan tiga
ember terakhir dengan harga yang sama, 10rb. Tiba-tiba bapak penjual yang baik
hati tersebut bertanya sebenarnya mau diapakan ember-ember tersebut. Aku
kembali harus menjawab bahwa ember tersebut buat kepentingan panti asuhan.
Sekarang
aku mendapatkan ke-tujuh ember tersebut, aku bisa pulang dengan bahagia. Tapi
ternyata pikiranku salah, sebelum pulang aku harus menghadapi satu lagi
masalah. Aku dengan membawa ke-tiga ember menuju tempat parkir dan menemukan bahwa
mobilku dipepet sebuah mobil. Mobil besar yang pengemudinya berhati kerdil. Ia markir mobil mepet! Pintu kanan gakbisa
dibuka sama sekali, orang masuk situ aja gakmuat! Gila.
Aku lihat tukang parkir,
beliau terdiam tak bergeming. Tak ada
gunanya aku marah-marah sama tukang parkir, toh itu mobil juga gakbakal pindah.
Akhirnya aku putuskan untuk memasukkan ember-ember tersebut ke mobil.
Siapatau abis nyelesaiin nyusun ember, pengemudi gak tau diri itu datang dan
memindahkan mobilnya.
Aku
menemukan masalah lain, ember-ember tersebut tidak tertampung di bagasi.
Bagasiku tidak cukup besar untuk ke-tujuh ember. Saat itu emosiku meluap, aku
berteriak dan membanting salah satu ember. Rekanku menyabarkanku dan menepuk
pundakku dengan kelembutan, aku mengambil nafas.
“hmh,
makasih ya”
“iya
sama-sama. Sini coba aku yang tata embernya.”
“Percuma,
udah aku tata dengan berbagai cara.” Aku mengambil alih setelah aku tenang, beberapa ember aku taruh di
jok belakang.
“Gah,
nanti jok kamu kotor. Ada yang dicat terus catnya masih basah pula.”
“Ah
bodo amat. Bentar ya, aku masuk lewat pintu kamu, aku loncat aja ke jok kemudi.
Tuh orang yang parkirnya ‘pinter’ gak muncul-muncul.”
Rekanku
terdiam, membiarkanku meloncat melalui joknya.
Perjalanan
pulang dipenuhi dengan aura tegang, luapan emosi rasanya masih terbang. Aku
coba merubah suasana dan memutar lagu-lagu yang menghibur. Aku tersenyum dan
mencoba melawak, rekan kerjaku menanggapinya positif. Menit-menit akhir
perjalanan berganti menjadi aura bahagia. Ke-tujuh
ember ketemu, anak-anak panti bakal seneng, kerja sebagai perkap udah
terlaksana, ya.. bersyukur aja alhamdulillah. Walaupun hitam mendominasi
warna perjalananku, setidaknya masih ada lilin-lilin kecil yang menerangi
perjalanan ini. Tanpanya aku tak tahu arah, terima kasih Tuhan, terima kasih
telah mengirimkan lilin-lilin kecil tersebut.
“Wahai
orang-orang beriman. Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat.
Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar” Al Baqarah:153
“Maka
sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan” Al Insyirah:5
”Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Al Baqarah:286
p.s: Suatu waktu nanti, insyaAllah akan ada cerita tentang edufunction. Bagaimana ke-tujuh ember disulap menjadi tong sampah dan bagaimana hatiku disulap oleh seseorang.
p.s: Suatu waktu nanti, insyaAllah akan ada cerita tentang edufunction. Bagaimana ke-tujuh ember disulap menjadi tong sampah dan bagaimana hatiku disulap oleh seseorang.
sumber gambar: http://adishviolinist.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar