Sekuel dari 4 Jam Mencari Ember: Sebuah Perjalanan Tak terduga
part 1: Langkah Pertama
part 2: Kecewa atau Semangat. Meratap atau Bergerak
part 1: Langkah Pertama
part 2: Kecewa atau Semangat. Meratap atau Bergerak
part 3:
Hitam
Jogjakarta – masih di hari di
mana aku harus menemukan ke-tujuh ember – pukul 11.45, perjalanan menuju pasar kli**kan.
Jika aku selamat sampai pasar kli**kan, maka perjalanan ini adalah momen
pertamaku masuk pasar di Jogja. Bayanganku tentang pasar kli**kan adalah pasar
tradisional di mana orang-orang murah senyum berkumpul untuk melakukan
transaksi jual-beli. Tempat di mana hasil kerja keras menanam pangan akan di
jual dan tempat berkumpulnya senyuman setelah melihat hasil kerja keras halal
telah terbayar. Aku biarkan bayanganku mengawang sampai aku tiba di pasar tersebut.
Jarum jam menunjukkan pukul 12 lewat 5 menit,
tapi aku belum juga menemukan pasar kli**kan. Lima belas lewat lima menit telah
kuhabiskan di perjalanan menuju pasar kli**kan, hampir 2 jam telah aku telan untuk
mencari ke-tujuh ember. Hasil sementara: 2 ember dari 7 ember telah ditemukan,
sisa ember yang harus ditemukan: Lima, aku mulai frustasi. Rekan kerjaku
menelfon salah satu temannya dan mengatakan bahwa aku sudah dekat. Setelah
berputar-putar di jalan yang sama namun tak kunjung mendapatkan hasil, aku
membuat satu keputusan. Aku dan rekan kerjaku pergi ke SPBU, solat dulu coy.
Setelah selesai solat aku dan
rekan kerjaku kembali memacu mobil, sambil berharap ada cahaya yang menuntun
kami ke pasar tersebut. Namun yang kami temui hanyalah lambaian pengisi bensin
yang menunjukkan mesin pengisi bensin sambil berkata “Dari Nol ya pak”. Setelah
mobilku minum kami melanjutkan pencarian buta kami.
Di perjalanan, tiba-tiba rekan
kerjaku menemukan sebuah ember tak sadarkan diri di depan sebuah ruko yang
sedang dibangun. Aku langsung menepi, memarkir mobil, dan menjemput ember
tersebut. Kabar buruknya, ember tersebut masih ada yang punya dan masih ada
isinya. Kabar baiknya, sang pemilik ember tahu persis letak pasar yang sedang
kami cari.
Setelah mendapat arahan dari sang
pemilik ember, kami akhirnya menemukan pasar kli**kan! Ternyata pasar kli**kan
berada di jalan *peep* dan dekat dengan SMA *peep*. SMA tersebut merupakan SMA asal
dari banyak temanku di FK UGM
Aku langsung menyeletuk “OOHHH! TERNYATA ini
SMAnya si adhit (nama palsu)”
Rekan kerjaku menjawab “Iya,
pasar kli**kan kan emang deket sama SMA *peep* Temenku juga dari SMA ini. Masa
ada cerita lucu tentang pasar ini gah.”
“Apatuh?”
“Temenku bilang kalo dia parkir
motor, terus helmnya ilang, nanti pas pulang pasti nemuin helmnya di pasar ini.
Gak cuma dia, temen-temennya yang bawa motor sering juga kaya gitu”
[Kaget] “What?!” Sejenak
bayanganku tentang pasar tradisional murah meriah senyum menawan jujur
berpahala buyar. “Seriusan?” Nada bicaraku masih menunjukkan rasa tidak
percaya.
“Iya, yaudah yok masuk”
Setelah aku menelaah pasar ini,
aku menemukan banyak sekali spare part motor.
“Eh bro (nama rekan kerja
disamarkan), kamu serius kita bakal nemuin ember di pasar ini?”
“Kayaknya enggak deh... Isinya
spare part semua. Kata temenku kalo mau nyari spare part murah di sini
tempatnya.”
“Terus ngapain kita ke sini...
Kita kan gak lagi nyari spare part.”
“Ya siapa tau ada. Ternyata
enggak”
Aku geleng-geleng ”Btw, Aku heran.... Spare part spare part di
sini masih bagus-bagus, kenapa bisa murah?”
“Lah, kamu gak tau? Katanya motor
curian spare partnya dipretelin terus di jual di sini. Semacam black market.”
“HAH?? Serius?? Jadi ini sarang
black market? Pasar yang jualan gak pake lampu itu?”
“Gah gak lucu.”
“Oke lanjut.”
Aku menarik nafas sambil melihat
sekitar. Aku tak menyangka bahwa akhirnya aku masuk sarang black market. Aku
juga tak menyangka kenapa bisnis itu begitu subur di sini, bahkan pencurian
helm yang dialami para siswa sudah menjadi hal yang lumrah. Aku ke luar pasar
dan melihat sekali banyak jajanan. Lingkungan yang sebegitu ramainya bisa
terjadi aksi pencurian. Satu pertanyaan muncul di benakku, di mana mata mereka?
Atau lebih tepatnya, di mana hati mereka?
Langkah kaki yang santai tidak
diikuti oleh gemuruh hati yang dongkol. Duit
lagi, duit lagi. Apakah ketika mereka kaya, mereka akan berhenti dari pekerjaan
ini, atau justru mencari prospek kejahataan yang lebih besar lagi? Aku teringat
opnum pejabat. Aku teringat opnum hakim. Aku teringat opnum penegak hukum.
Apa yang bisa dilakukan oleh
kami untuk merubah semua ini? Demo? Mereka tak punya telinga, hati mereka juga
telah mati. Hmh, sebaiknya di mulai dari diri sendiri. Terus ngajak orang lain
supaya berlaku jujur, supaya Indonesia kembali menjadi pintar, supaya Indonesia
kembali ditakuti. Cukup sudah, ke-tujuh ember masih menunggu untuk
ditemukan. Aku kembali ke mobil dan segera berpikir.
“Bro (nama rekan kerja masih
disamarkan), kemana nih kita?”
“Pasar progo aja. Temenku
nyaranin ke situ.”
“Di mana tuh? Isinya bukan spare
part kan?”
“Aku juga gak tau, katanya deket
malioboro. Enggak kok, ini isinya barang-barang bekas kata si z (yang nyaranin
ke pasar progo)”
“Kenapa gak ke situ aja daritadi.
Okedeh kita ke sana, semoga gak nyasar lagi dan embernya ada di situ.”
“Kamu tau jalannya?”
“Enggak.”
“Lah terus?”
Next stop, Progo Market.
Komentar
Posting Komentar