Lesbian Gay Bisexual dan Transgender (LGBT) bagi anak
kedokteran adalah hal yang ditemui sehari-hari. Karena kelak ketika kami
menjadi dokter, kami tidak dapat memilih pasien mau yang ini mau yang itu. Beberapa
universitas pun menerapkan kurikulum yang mewajibkan anak didiknya untuk
bertemu dan berinteraksi dengan LGBT (atau LGBT yang bertemu anak didiknya).
Oleh karena itu saya mengambil sudut pandang sebagai anak FK yang sudah
dikenalkan dengan LGBT di masa pendidikan, bertemu, berinteraksi. Akan tetapi
kata kami, bukan mewakili mahasiswa kedokteran.
Kata kami di sini mewakili 3 temanku, sebut saja si X, Y,
dan Z. Mereka tak sengaja membicarakan tentang LGBT setela kusulut dengan
sebuah cerita. “Masa ya, kan aku ke mall be-2 sama si O (cowok), karena kita
baru selesai bantu dosen terus kita bosen dan akhirnya mau nonton aja. Pas lagi
jalan ke bioskop, kita lewat satu stand. Terus tiba-tiba mas standnya nyamperin
terus bilang ‘mas mari silahkan, ada paket couple ada diskon’”
Berawal dari cerita tersebut datanglah topik LGBT. Berhubung
LGBT sedang marak didengungkan, saya tertarik untuk merefleksikan kasus ini. Ketika saya mengetik, saya sadar
betul bahwa apa yang saya tulis di sini adalah hal sensitif, di sini pun saya tidak ingin
menyinggung perasaan siapa pun, dan meminta
maaf jika kata-kata di sini ada yang kurang berkenan. Baiklah kita mulai
saja;
Dimulai dari si X, dia bilang LBGT sekarang menuntut untuk
disetarakan. Ketika kutanya maksudnya disetarakan? Dia jawab ‘ya diakui,
dilumrahkan’. Berlanjut ke si Y “kalo aku sih gak setuju kalau LGBT disahkan di
UU atau peraturan. Tapi ya bukan berarti memusuhi mereka. Gakusah dimusuhin,
tapi ya gausah disahkan juga” si Z “aku setuju sama Y, gausah dimusuhin, tapi
janganlah disahkan atau diakui atau apalah namanya.”
(untuk dialog selanjutnya tidak akan disebutkan siapa X, Y,
Z, atau pun saya)
“Tapi kasian loh sebenernya LGBT dan seharusnya yang
bertanggung jawab adalah orang-orang di sekitarnya! keluarganya, teman-temannya, orang-orang terdekatnya sebelum dia jadi LGBT”
“Loh kenapa gitu? Kok jadi nyalahin keluarganya?”
“Aku punya temen lesbian. Kalian tau gak kenapa dia bisa jadi
lesbian?”
“Enggak lah kan situ belum cerita”
“Jadi gini, ada temenku sebut saja si K, si K suatu waktu nginep sama lesbian
itu sebut saja L. Terus si K nanya ke si L 'Kenapa sih kamu lesbi?' Terus dijawab bahwa dia menjadi lesbi karena trauma masa kecil, pas masih kecil dia sering
dipukuli sama ayahnya. kalau dilihat punggungnya masih kelihatan biru-biru bekas dipukul benda tumpul. Sejak itu dia berpikir bahwa semua laki-laki keras, semua
cowok jahat dan suka kekerasan”
“Eh aku juga punya temen gay. dia jadi gay karena dulu pas
sekolah (entah SD, SMP, atau SMA) dia sering dibully, dikatakatain, dan dijauhin
dari orang-orang sekitarnya. Tapi ada 1 orang temennya yang baik. sayangnya… dia cowok. sejak saat itu dia
nyaman hanya sama cowo dan merasa cowo itu bisa mengerti peraaannya”
“Aku juga
punya temen gay. dia cerita kalau sebenarnya pas SD dan SMP dia tuh berpikir ‘aku
kok begini ya. kenapa aku gak normal. aku salah gak ya ini. aku harus apa’ nah
tapi perang batin itu berhenti di kuliah, dia akhirnya memutuskan untuk jadi
gay”
“Wah parah
banget sih! harusnya di saat-saat kritis itulah ada orang yang datang dan
membuat mereka nyaman, lalu memberi pengertian tentang masalah-masalah yang
dihadapi termasuk masalah orientasi seksual.
"Guru SMAku juga pernah cerita hal yang sama! Dia menyayangkan coba pas mereka lagi perang batin ada orang yang nyaman dan bisa ngasih pengertian"
“Bener
banget! apalagi yang jadi lesbi karena dulu dipukuli sama bapaknya, jahat
banget sih! Itu juga bully bully, mereka pembully gak sadar bahwa apa yang
mereka lakukan berdampak jauh ke masa depan orang lain.”
“Terus di
*nyebut stasiun tv* pernah dibahas tentang LGBT dari sisi kesehatan jiwa.
Spesialis kejiwaan juga nyebutin bahwa mereka pada saat perang batin harusnya
ada yang bisa membuat nyaman dan memberikan pengertian. dia juga bilang bahwa
orientasi seksual bisa diubah meskipun sulit, tapi ya aku gatau juga karna aku
bukan LGBT.”
“Tapi
sejauh yang aku tahu juga bisa. Cuma memang butuh perjuangan yang cukup dan
support dari orang-orang terdekat.”
Pada
akhirnya kami sepakat bahwa LGBT tidak disahkan menjadi sebuah UU atau
peraturan atau apapun, dan tidak memusuhi LGBT tetapi merangkul, berdiskusi
secara open-minded dan saling memberi pengertian serta pendapat,
dan kami mengutuk perilaku orang tua yang jahat dan para pembully yang telah membuat
masa depan anak orang bergeser.
Orang-orang
yang berbeda pendapat dengan kami, kami menghargai pendapat kalian. Namun saya
rasa semua orang setuju bahwa perilaku kekerasan dalam keluarga dan sekolah
adalah hal nista yang harus dibumihanguskan di daratan Indonesia. Stop
kekerasan dan bullying! Budayakan kedekatan dengan anak!
p.s:
masalah yang kami diskusikan hanyalah sebuah puncak gunung es. puncaknya
terlihat tidak terlalu besar, padahal gunungnya tinggi menjulang di bawah
permukaan dan tidak terlihat
“Tapi
adaloh LGBT yang harus dibudidayakan”
“Ha?”
“Lelaki
Gagah Berani Taaruf”
“Krik”
“Eh tapi bener
juga”
copyright to amgah.blogspot.com
sumber gambar;
www.theasianparent.com
www.minddisorder.com
www.rense.com
tulisannya keren, pembahasannya sensitif cuma dikemas secara baik. mau nulis yang sensitif2 gini takut gue, tapi ada rencana sih. cek blog gue, saran dan kritiknya gue tunggu bahanbacaan21.blogspot.co.id
BalasHapus