Aku menyaksikan sebuah permainan unik. Dua orang saling berhadapan. Satu dengan mata terbuka. Satu lagi dengan mata tertutup. Sang mata terbuka mencoba memberi pesan pada pasangannya yang terpejam. Yang terpejam mencoba menerima pesan yang dikirim tanpa melalui komunikasi verbal.
Sebuah permainan yang simpelnya disebut telepati
Hening tak ada suara. Satu-satunya suara datang dari pikiran sang mata terbuka. "Kamu jatuh ke kanan!. Kamu jatuh ke kanan. Kamu jatuh ke kanan!" Berulang-ulang.
Membayangkan pasangannya jatuh dan menyuarakannya dalam hati. Sekejap orang dengan mata terpejam jatuh, tepat ke kanan. Sesuai pesan yang dikirim melalui pikiran
Mengerikan. Telepati benar-benar terjadi.
Hanya dengan kekuatan pikiran. Tubuh manusia yang kokoh tiba-tiba rapuh. Bata demi bata penyusun seakan dicopot satu per satu.
Pertanyaan hadir ke permukaan. Jika kekuatan pikiran dapat merobohkan manusia, apakah kekuatan pikiran dapat membangun manusia?
Pertanyaan itu tak langsung kujawab. Aku justru bertanya kembali. "Apa yang kulakukan ketika aku mau berdiri?"
"Apakah aku berbicara dalam mulut atau dalam pikiran?"
"Apakah tubuhku ingin mendengar ucapan kataku, atau ucapan pikiranku?"
Pertanyaan terakhir yang muncul dalam benakku. "Apa yang aku pilih, merubuhkan atau membangun?" Kali ini aku menjawab "Lebih baik membangun, kekuatan pikiran boleh juga untuk dipakai"
Sebuah permainan yang simpelnya disebut telepati
Hening tak ada suara. Satu-satunya suara datang dari pikiran sang mata terbuka. "Kamu jatuh ke kanan!. Kamu jatuh ke kanan. Kamu jatuh ke kanan!" Berulang-ulang.
Membayangkan pasangannya jatuh dan menyuarakannya dalam hati. Sekejap orang dengan mata terpejam jatuh, tepat ke kanan. Sesuai pesan yang dikirim melalui pikiran
Mengerikan. Telepati benar-benar terjadi.
Hanya dengan kekuatan pikiran. Tubuh manusia yang kokoh tiba-tiba rapuh. Bata demi bata penyusun seakan dicopot satu per satu.
Pertanyaan hadir ke permukaan. Jika kekuatan pikiran dapat merobohkan manusia, apakah kekuatan pikiran dapat membangun manusia?
Pertanyaan itu tak langsung kujawab. Aku justru bertanya kembali. "Apa yang kulakukan ketika aku mau berdiri?"
"Apakah aku berbicara dalam mulut atau dalam pikiran?"
"Apakah tubuhku ingin mendengar ucapan kataku, atau ucapan pikiranku?"
Pertanyaan terakhir yang muncul dalam benakku. "Apa yang aku pilih, merubuhkan atau membangun?" Kali ini aku menjawab "Lebih baik membangun, kekuatan pikiran boleh juga untuk dipakai"
Komentar
Posting Komentar