Di artikel sebelumnya aku sudah cerita kalau di
saraf itu sibuknya pas matahari terbit. Tetapi belum cerita kalau matahari
terbenam adalah tanda koas sibuk kembali. Jaga malam di saraf cukup unik
dibandingkan di stase-stase kecil lainnya. Unik dalam artian “unik”, di saraf
kamu akan merasakan fase kritis yang benar-benar kritis.
Ada waktunya kita memeriksa tanda-tanda vital
setiap 15 menit. Tidak terbayang jika per 15 menit tersebut terjadinya sekitar
pukul 03.00, ketika fisik dan mental mengais-ngais untuk tidur. Saya rasa tidak
ada satu pun orang di bangsal yang menginginkan itu terjadi, termasuk keluarga
pasien. Karena tanda-tanda vital (TTV) tiap 15 menit juga berarti pasien dalam
keadaan tidak bagus.
Jika kamu beruntung, kamu hanya perlu TTV tiap
4 jam atau tiap 6 jam. Namun selama aku jaga di saraf, entah mengapa aku tidak
pernah mendapatkan privilege tersebut.
Selain berangkat pagi dan jaga malam, di saraf ada ilmiah siang. Namun ilmiah
siang tidak selalu diadakan tiap hari. Bahan belajar saraf cukup banyak dan
rumit loh, harus pintar bagi waktu untuk ketrampilan dan teori.
Orang bilang resusitasi jantung paru (RJP)
didapat saat anestesi karena ada jaga IGD. Saya bilang RJP juga bisa didapatkan
di saraf. Apa yang tidak menyenangkan dari RJP adalah suasana duka yang
menyelubungi ketika hasil akhirnya kematian. Di saraf kita diajarkan untuk
lebih memaknai kepergian seseorang. Tak jarang anak menangisi orangtuanya,
orangtua menangisi anaknya, suami menangisi istrinya, atau pun istri menangisi
suaminya.
Stase luar kotaku adalah Banyumas, YEAY BANYUMAS. Entah kenapa aku sangat
menyukai Banyumas. Menurutku, Banyumas itu memanusiakan manusia atau lebih
tepatnya mengkoaskan koas. Banyak staf di sana terutama perawat yang ramah pada
koas. Selain itu, kita bisa jalan-jalan ke purwokerto, koas jalan travelling jalan.
Staf saraf di Banyumas adalah mba Denny, Bu
Yuni, dr. Farida, dan dr. Laksmi, empat-empatnya baik dengan kebaikan yang
berbeda-beda. Mbak Denny itu… awet muda, tidak ada yang menyangka dengan
parasnya yang seperti itu ternyata sudah memiliki 3 anak. Kalau ngobrol dengan
mbak Denny, kita diledekkin kapan nikah kapan punya anak.
Bu Yuni yang lebih senior juga ramah pada koas,
selalu tersenyum dan enak diajak ngobrol. Dr. Farida mirip seperti mbak Denny
dalam artian awet muda. Hobi dr. Farida adalah travelling, mungkin karena jiwa
muda beliau jadinya beliau awet muda. Dr. Laksmi lebih senior dari dr. Farida,
yang aku kagumi dari dr. Laksmi adalah ilmunya dan kebaikan beliau yang mau
mengaliri ilmu tersebut ke koas.
Oiya ada satu lagi yang wajib ditulis di sini,
Mba Ririn! Perawat Teratai yang asik banget buat diajak ngobrol. Aku, Ana, dan
Mey kalau menunggu dr. Farida selalu di bangsal Teratai. Kalau kami sudah
bertemu mba Ririn, yang tadinya bosen bisa jadi asik. Mba Ririn suka
menyambangi topik-topik unik, ada aja yang diobrolin.
Kegiatan koas wajib di Banyumas salah satunya
adalah visite pagi dr. Laksmi tiap pukul 7.30 di Bougenville. Di sana kita akan
ditanyai kasus-kasus yang ada. Rata-rata koas hanya melongo ketika disuruh
menjawab, dan pada akhirnya kita disuruh dr. Laksmi untuk segera mencari di
internet. Kita akan merasa keren sendiri kalau ternyata ada pertanyaan dr.
Laksmi yang bisa kita jawab paripurna.
Hebatnya dr. Laksmi ilmu beliau tidak terbatas
pada saraf. Ilmu beliau juga mencakup hal-hal non-saraf yang berhubungan dengan
saraf, kita koas hanya bisa tercengang. Beliau tipe yang ngajarin banget dan
tegas. Koas cukup mendapatkan banyak ilmu dari dr. Laksmi. Di Banyumas pun
kasusnya beragam, kita belajar banyak dan jalan-jalan banyak.
Purwokerto adalah kota non-metropolis (semoga)
yang mampu menyihir otakku, membuatku jatuh cinta pada pijakan kaki pertama. Entah
mengapa kota ini tidak kota-kota banget tapi juga tidak desa-desa banget. Jogja
pun seperti itu (dulu), dan semoga tetap seperti itu (kembali ke dulu), seperti
itu berarti janganlah menjadi kota metropolis seperti kota X.
Banyak pojok-pojok purwokerto yang dapat
menstimulasi endorphin, salah satunya adalah bakso pekih. Pekih berasal dari
nama jalan di mana bakso tersebut terletak. Bakso pekih memang beda, pak Bondan
akan bilang “maknyus”. Harganya pun normal seperti bakso pada umumnya, porsinya
pun cukup banyak sehingga worth it
untuk dicicipi. Jalan pekih adalah jalan kecil seperti gang yang hanya muat 2
mobil papasan. Jika jalan pekih memiliki panjang 600 meter, 250 meter
dihabiskan sendiri untuk parkir bakso pekih.
Jalan kaki dari bakso pekih, sekitar 1 menit
kita akan menemui alun-alun kota. Alun-alun purwokerto cukup bersahabat.
Alun-alunnya bersih, penjualnya cukup banyak, tidak terlalu ramai, dan cukup
terang di malam hari. Aku, Ana, dan Mey pun tak mau kelewatan bermain-main di sana.
Selain bakso pekih dan alun-alun, masih banyak lagi tempat-tempat di PWT yang
wajib dihampiri. (Oiya
mendoan BMS/PWT dan es duren pak Kasdi itu juga maknyus).
Kalau di Sardjito kita perlu datang pukul 06.00
pagi, di Banyumas kita perlu datang pukul 05.30 pagi. Selamat untuk para early person dan bersabarlah untuk para
burung hantu. Di saraf kita diajarkan untuk tahajud tiap hari. Namun enaknya di
Banyumas kita dapat saling membangunkan, bangun pagi buta pun menjadi lebih
ringan. Lalu masakan hangat pak Pangat sudah menunggu di depan pintu.
Pak Pangat adalah penjual makanan yang sudah
aku ceritakan tempo dulu ketika menulis koas mata banyumas. Pak Pangat selain
mengetuki tiap pintu kos pukul 07.00 pagi juga dapat special request. Kami special request untuk ketuk pintu pukul
04.30, murah meriah 3500 = nasi rames, gorengan 1nya 1000. Porsiku biasanya
5500, 1 nasi dan 2 gorengan, orang lain biasanya 3500 sudah cukup. Secara umum
koas di Banyumas menyenangkan meskipun jauh dari peradaban dan jauh dari
Yogyakarta.
copyright to amgah.blogspot.com
sumber gambar;
wp.lps.org
wikimedia.org
purwokertoguidance.com
Komentar
Posting Komentar