Sore ini 3
April 2015 Yogyakarta diguyur air hujan, benar-benar diguyur. Air yang
volumenya cukup besar terus menerus menghatam kaca mobilku. Berkali-kali wiper
harus menggeser para air agar mereka tidak berkumpul di depanku. Berkali-kali
pula aku melihat pemandangan yang biasa-biasa saja, sampai bapak tukang koran
itu muncul.
Sedikit
gambaran tentang apa yang aku lihat, jalan Kaliurang adalah jalan besar yang
terdiri dari dua arah, ke utara dan ke selatan. Di perempatan ringroad utara, jalan
kaliurang ke arah utara diberhentikan oleh sebuah lampu merah yang cukup lama
(sekitar 120 detik), itulah tempat sang bapak berjualan koran. Sedangkan jalan
kaliurang ke arah selatan bersih dari lampu merah, itulah saat aku melihatnya.
Apa yang special dari pemandangan tersebut?
Bapak tukang koran ini sudah tua, uban putih banyak mewarnai rambutnya. Plus bapak tukang koran ini menjajakan korannya di pukul 15.00++. Siapa yang mau beli koran sore-sore?
Lalu si bapak menerjang hujan dengan payung mungilnya agar koran-korannya tetap
bisa dijual. Siapa yang hujan-hujan mau
jualan koran?
Sambil
melewati si bapak, aku melihat kaca spion lalu membandingkan dirinya dan
diriku. Bapak ini gigih sekali, sore-sore hujan masih aja jualan koran mencari
nafkah untuk keluarganya. Sedangkan aku menyetir mobil, membakar uang dan belum
bisa menghasilkan apa pun. Pernah sekali aku melihat korannya dibeli, senyum
sang bapak seperti mengatakan Alhamdulillah aku dapat rezeki lagi hari ini, Alhamdulillah.
Setiba
di rumah aku kembali memikirkan sang bapak. Aku menyadari satu hal yang sudah
beberapa hari (mungkin minggu) aku lupakan. Kenapa
sang bapak sore-sore masih mau berjualan koran dalam keadaan hujan lebat? Kenapa
dia sangat gigih? Apa yang menggerakkan tubuh sang bapak? Padahal bisa saja istirahat
dan bermalas-malasan di rumah. Apa dasar dan alasannya, mengapa ia masih tetap
berjualan…
Terlalu
lama, terlalu lama aku tenggelam dalam keadaan tanpa dasar dan tanpa alasan. Terlalu
lama aku bertemu dengan orang-orang yang dangkal dan lupa bahwa ada orang-orang
yang dalam. Orang yang mampu membuatku tersenyum tanpa harus mencela orang
lain. Orang yang mampu membuatku menangis tanpa harus mengingat kematian.
Ada
anak-anak di panti sayap ibu 2, lahir dengan disabilitas mata, disabilitas
telinga, disabilitas intelegensia, bahkan disabilitas yang mereka derita lebih
dari satu. Tetapi mereka masih punya semangat hidup dan terus berusaha agar
hidupnya bermanfaat. Sedangkan ada orang yang semua tubuhnya sehat tapi bunuh
diri karena putus sama pacarnya. Ada juga orang tua yang mengatakan “jangan
seperti bapak ya, kamu harus sukses nak” lalu sang anak belajar cerdas agar
kelak sang bapak dapat beristirahat dari kerja kerasnya. Mungkin bapak tukang koran punya cerita
yang sama.
Mereka punya
dasar, mereka punya alasan, mereka yang mampu membuat orang lain tergugah. Apa
yang mereka lakukan hanyalah menyambung hidup, tapi kehidupannya memberi makna
pada orang lain (termasuk aku). Mereka tersenyum dalam keadaan yang sulit, sedangkan aku seringkali mengeluh. Mereka berdiri ketika
terjatuh, sedangkan aku seringkali berbaring menunggu dibangunkan. Mereka tetap bergerak
ketika tubuhnya terlalu capek untuk bergerak, sedangkan aku seringkali menuruti tubuh untuk diam padahal seharusnya aku bergerak.
Terlalu lama,
terlalu lama mataku buta, telingaku tuli, dan kakiku diam. Hanya melihat, mendengar, dan mengunjungi orang-orang yang memiliki tapi tidak memaknai. Terlalu lama aku membiarkan diriku mati
tak punya nyawa tak punya arah. Apa tujuan hidupku? Untuk apa aku hidup? Seperti apa aku mau dikenang ketika aku dikubur? Sudahkah aku mempersiapkan
kematian?
Terlalu lama aku
meninggalkan kehidupan. Aku rindu kepada hidup, hidup yang sebenar-benarnya
hidup. Semoga aku dapat segera bertemu denganmu. Bukan kamu yang menghampiriku,
tapi aku yang berusaha mencarimu.
Terima kasih
Tuhan, melalui bapak tukang koran Engkau ingatkan aku untuk kembali.
copyright to amgah.blogspot.com
Ka Amgah :")))
BalasHapus